Senin, 23 Maret 2009

PENYAIR IYUT FITRA: Pembicara Atawa Pencerita

PENYAIR IYUT FITRA PEMBICARA ATAWA PENCERITA
Oleh: Sulaiman Juned *)

Beberapa waktu yang lalu (14/3) Penyair nasional asal Payakumbuh Iyut Fitra melakukan Lounching antologi puisi Dongeng-Dongeng Tua setelah pada tahun 2005 meluncurkan buku puisinya yang pertama Musim Retak. Kegiatan ini terlaksana atas kerjasama dengan Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Teater Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Padangpanjang, bertempat di Gedung Teater Mursal Esten. Lounching ini dibuka dengan pertunjukan teaterikal puisi berjudul “Tangga” Karya Iyut Fitra yang digarap mahasiswa HMJ Teater STSI Padangpanjang lewat eksplorasi tubuh.
Yusril, S.S., M.Sn Ketua Jurusan Teater mengatakan, ini kali kedua penyair Iyut Fitra hadir di sini. Di awal pendirian jurusan teater pada tahun 1997, Iyut pernah baca puisi yang diiringi dengan musik orkestra. Lounching buku sastra seperti ini penting dilakukan oleh HMJ, sebab sastra sangat berhubungan dengan proses kreatif seorang pekerja teater. Jadi jurusan teater sangat terbuka dan dapat menjadi ‘rumah’ bagi seniman-seniman Indonesia, minimal seniman yang bermukim di Sumatera Barat. Para penyair, teaterawan, kreografer, komposer dan pelukis serta sinematografi silakan datang ke jurusan teater STSI Padangpanjang, kami akan sambut denga senang hati. Fasilitas ini milik kita untuk memajukan dunia kesenian.
Iyut Fitra mengatakan, saya sangat senang dan bangga serta tersanjung dijamu oleh adik-adik jurusan teater. Sedangkan mengenai puisi-puisinya, Iyut tidak mau menjelaskan makna hasil karyanya kepada pembaca, sebab puisi ketika sampai di tangan pembaca telah menjadi milik si pembaca. Puisi yang telah lahir, ia harus berjuang sendiri untuk menentukan jalan hidupnya. Puisi diumpamakan seorang anak, ibu telah berjuang melahirkannya tentu selanjutnya perjuangan sang anak pula agar mampu mempertahankan hidupnya. Begitulah, tugas penyair hanya menulis.
Penyair Iyut Fitra dalam puisinya menciptakan lawan bicara berupa manusia yang secara eksplisit disebutkan, atau manusia tertentu tetapi implisit. Kehadiran (identitasnya) dapat ditemui dalam teks, seperti dalam puisinya berjudul “Jamila” atau manusia umumnya dalam puisi “tangga” . Situasi bahasa yang ditawarkan penyair Iyut Fitra lewat engel naratifnya, merujuk pada persoalan pihak mana saja yang terlibat dalam komunikasi teks sastra? Siapa pembicara atau pencerita? Kepada siapa pembicaraan itu ditujukan? Siapa yang menjadi lawan bicara? Situasi bahasa merupakan sistem komunikasi dalam karya sastra berbentuk puisi.
Penyair adalah Writer: (penulis/ penyair/ pengarang). Identitas aku, kau, kita dalam teks puisi adalah narator. tuhan, mu, saya dan sebagainya dalam teks puisi adalah narratef. “Lawan bicara/ yang di ajak bicara/ pihak yang dituju”. Kita semua yang membaca teks dalam hal ini karya Iyut Fitra adalah real reader atau audience (pembaca/khalayak). Setiap pembicaraan di dalam puisi ditujukan kepada seseorang (lawan bicara). Semua genre puisi baik dialog, monolog maupun naratif selalu ada lawan bicara. Hanya saja penyair terkadang menghadirkan lawan bicara dalam puisinya secara eksplisit. Sesungguhnya secara implisit sosok si penyair itu hadir di dalam teks puisinya.
Pembicaraan tentang tife penyair dapat membantu pembaca puisi untuk mengenali identitas teks. Setiap teks puisi Iyut Fitra selalu hadir sebagai pencerita atau pembicara kepada lawan bicara (pembaca atau khalayak). Iyut, dalam teks puisinya kehadiran lawan bicaranya nyata. Disamping itu, yang diajak bicara tidak hanya terbatas pada manusia melainkan juga alam dan Tuhan.
Sahrul N. Dosen STSI Padangpanjang yang kritikus Seni itu, melakukan telaah puisi penyair Iyut Fitra lewat Romantisme Naratif dalam Puisi Iyut Fitra. memaparkan “Membaca puisi cinta adalah membaca kehidupan itu sendiri. Puisi yang baik akan selalu punya sihir kata yang mampu melibatkan perasaan pembaca. Ia membawa kita pada kembara tanpa batas. Iyut Fitra mengurai romantisme itu dalam narasi yang terukur dan tertata rapi. Narasi puisi Iyut terlihat ketika ia bercerita tentang cinta (cinta pada ibu, perempuan, negeri dan segala persoalan yang menyentuh rasa dan pikirannya). Ia menyampaikan sebuah cerita”.
Sahrul N membaca Dongeng-Dongeng Tua, yang berisi tujuh puluh puisi Iyut Fitra, lalu membagi tiga periode pemakaian diksi sang penyair. Tahun 2004; penyair berangkat dari semangat kehidupan yang liar dan kelam. Diksi yang dipakai lugas dan berani. Sang penyair masih berpacu dalam dinamika kehidupan tanpa kemapanan. Aspek puisinya yang berjudul Mabuk Luka: //......bukan penyair bika tak mabuk/ pada luka-luka dunia. kesintalan perempuan malam yang bergoyang//.
Tahun 2005; Romantisme pada tahun ini memperlihatkan tingkat kemapanan dalam memandang kondisi sosial. Kematangan jiwa seorang penyair dalam memandang kehidupan. Hidup tidak lagi menjadi beban. Diksi yang filosofis mulai menghiasi karya-karya Iyut Fitra. Bahasa pada periode tahun 2005, terasa ada ragam bahasa puitik dengan bahasa praktis. Puisi-puisinya sangat puitik dengan bahasa emotif yang terjaga. Mari kita petik salah satu puisinya yang berjudul Sembilu: //hanya serasa awan terjahit untuk selimut// dalam gigil kesah betapa aku langit ingin menjemput/ waktu menjalar berubah bilang/ kau yang datang sebagai kupu-kupu/ jangan pernah menjelma sembilu//.
Tahun 2008; Romantisme dalam periode ini, merupakan periode kematangan bagi pencarian gaya kepenulisan dan pemilihan diksi. Persoalan budaya, moral, politik, adat dan sebagainya menjadi inspirasi dalam pertarungan imajinasinya. Romantisme tidak lagi sekedar cinta perempuan, tetapi menjadi romantisme adat, budaya, seni, agama, politik dan sebagainya. Mari kita simak petikan puisinya Hujan Telah Reda: ....//payakumbuh 15 maret. hujan telah reda, kotaku masih pucat/ tadi pagi telah kuterima sebuah lukisan/ bergambar batu nisan//.
Demikianlah ungkapan Sahrul N, ketika membahas dunia kepenyairan sekaligus karya-karyanya. Iyut Fitra tak ada keraguan, kesendatan dalam menuangkan diksi berbentuk puisi naratif. Termasuk komponen linguistik dan bahan kesasteraan terukir dalam bahasa puisi. Begitulah perkembangan kepenyairan seorang Iyut Fitra.
Acara sehari penuh itu, dihadiri oleh mahasiswa FKIP/ Bahasa dan sastra Indonesia Kauman Padangpanjang sebanyak 60 orang, mahasiswa STSI Padangpanjang. Juga dihadiri Tya Setiawati pentolan teater Sakata Padangpanjang, anggota Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang. Kegiatan itu ditutup dengan membacakan puisi-puisi Iyut Fitra. Turut membacakan puisi; Yusril (Ketua Jurusan teater/Pimpinan Komunitas Seni Hitam Putih), Tya Setiawati (Sutradara Teater Sakata), Dona Sangra Dewi (Sekretaris Komunitas Seni Kuflet), Immatul Jannah, Syarif Hayatullah, Erianto (Mahasiswa FKIP/Bahasa dan Sastra Indonesia), Zulkani Alfian dan Susandrro (Mahasiswa Jurusan Teater). Yang paling menarik dari acara baca puisi tersebut, ternyata penyair Iyut Fitra turut menilai para pembaca puisi, lalu diakhir acara menyerahkan bingkisan sebuah baju dan antologi puisi ’dongeng-dongeng tua’ kepada Tya Setiawati yang dianggap Iyut menjadi pembaca puisi terbaik. Luar biasa! Bravo Iyut Fitra!
*) Penulis adalah penyair, Sutradara teater, dan Pimpinan Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang, serta dosen tetap jurusan Seni Teater STSI Padangpanjang.

Kamis, 12 Maret 2009

Teater Modern Aceh

TEATER MODERN DI ACEH: HIDUP SEGAN MATI TAK MAU

Oleh: Sulaiman Juned *)

Andaikan permasalahan dana yang membuat dunia seni pertunjukan teater agak tersendat-sendat, seperti kerakap di atas batu, hidup segan mati tak mau. Begitulah amsal nafas kehidupan dunia teater di seluruh Indonesia. Berbicara masalah dana, komunitas-komunitas teater dimanapun ia berada tetap saja harus merogoh uang dari kantong sendiri untuk sebuah produksi teater. Biasanya sutradara harus mengeluarkan uang pribadinya untuk membiayai proses kreatif berteater. Jangankan di daerah, Jakarta saja masih mengalami fenomena seperti ini. Namun lain halnya dengan kondisi di Nanggroe Aceh Darussalam sekarang ini, dana melimpah baik dari pemerintah maupun NGO asing pasca tsunami. Dana tersebut ada yang dikhususkan untuk perkembangan dan kemajuan dunia seni di Aceh, bahkan ada yang lebih khusus lagi untuk kemajuan dunia teater di Aceh. Tapi alangkah sayang, jangankan untuk berkembang maju, jalan di tempat pun tidak.

Masa lalu Teater Aceh dan Pasca Tsunami.
Mari kita melirik hati, mengenang sekian puluh tahun ke belakang produktivitas teater modern Indonesia di Aceh. Masa itu, pendanaan sulit, kelompok teater ramai yang paling menyenangkan persaingan juga menjadi sehat. Antara tahun 1970-1997 Taman budaya Aceh yang digawangi Drs. Sujiman A.Musa, M.A memprogramkan pertunjukan teater pilihan tiap bulan. Program tahunan ini hanya dipilih lima kelompok teater yang dianggap berkualitas untuk pentas, dana didukung oleh Taman Budaya Aceh sekitar Rp.500.000,- per grup selebihnya ditanggung masing-masing kelompok teater tersebut jika kurang. Waktu itu, muncullah kelompok-kelompok teater independen seperti; Sanggar Kuala pimpinan Yun Casalona, Teater Mata pimpinan (Alm) Maskirbi, Teater Bola pimpinan (Alm) Junaidi Yacob, Teater Mitra Kencana pimpinan (Alm) Pungi Arianto Toweran, Kriya Artistika pimpinan Kostaman, Teater Peduli pimpinan (Alm), M.Nurgani Asyik, Sanggar Cempala Karya pimpinan Sulaiman Juned, Teater Alam pimpinan Din Saja, Sanggar Kuas pimpinan M.J. Seda, Teater Kosong pimpinan T. Yanuarsyah, teater Gita pimpinan Junaidi Bantasyam. Ada juga kelompok teater kampus yang masa itu ikut bernafas, seperti; Gemasatrin FKIP Unsyiah pimpinan Inal Fromi, Sanggar Kisnaka Unsyiah Pimpinan Zab Bransah, UKM-Teater Bestek-Fak. Ekonomi Unsyiah pimpinan Iwan Yacob, Sanggar Kita Fak. Hukum Unsyiah pimpinan J.Kamal Farza, UKM-Teater Nol pimpinan Jarwansyah. Denyut nadi perteateran di Aceh dalam kurun waktu tersebut memang terus berkembang dan mencapai puncak keemasannya. Ini dibuktikan setiap ada pertemuan teater Indonesia dimana saja, teater Aceh pasti ikut serta, seperti pertemuan teater Indonesia di Makasar 1990, di Jakarta tahun 1995, terakhir di Pekanbaru tahun 1997, setelah itu teater Indonesia pun tidak pernah lagi mengadakan pertemuan sekaligus tak memiliki isu.
Rekan-rekan seniman teater Sumatera cepat membaca kondisi ini, lalu memunculkan isu teater Indonesia kita tatap dari Sumatera. Isu ini ditangkap dan dilaksanakan oleh Jurusan teater STSI Padangpanjang dengan label Pekan Apresiasi Teater. Lagi-lagi Aceh hanya muncul satu kelompok teater, Teater Reje Linge Takengon Aceh Tengah pimpinan Salman Yoga. Sayang, merekapun datang hanya sebagai peninjau bukan mementaskan raga teater, menyedihkan memang. Bolehlah, alasan keterpurukkan teater di Aceh karena konflik yang berkepanjangan antara GAM dan TNI serta POLRI sehingga teater tidak diperbolehkan melakukan pementasan malam hari. Kita kenang masa-masa penjajahan Belanda dan Jepang, kesenian dan seniman Indonesia di ikat ruang geraknya. Namun seni dan seniman tetap melakukan aktivitasnya, jadi alasan klasik tersebut hanya untuk menutupi ketidakmampuan dalam berproses kreatif.
Ada keinginan untuk menjadi lebih baik. Teater dijadikan media pembelajaran moralitas, dan rehabilitasi psikologis bagi anak-anak korban tsunami. Sesungguhnya ini awal yang sangat baik, namun sayang di Nangroe Aceh Darussalam dalam kurun waktu itu bermunculanlah teater-teater yang berjenis Lawakan. Setiap ada pertunjukan teater pasti pertunjukan tersebut menjadi lawak (bukan komedi), penonton hanya membawa pulang tertawa setelah menyaksikan pertunjukan. Begitulah kondisi teater di Aceh.
Selanjutnya tanggal 12 sampai 18 April 2008, di Taman Ratu Syafiatuddin Banda Aceh diadakan kegiatan budaya Diwana Cakradonya, dalam kegiatan tersebut juga muncul event festival teater se-Nanggroe Aceh Darussalam. Ada rasa bangga dan haru ketika mendengar kegiatan teater diberi ruang dalam pesta budaya Aceh tersebut. Namun penulis sangat renyuh menyaksikan teater dipertunjukan dalam pasar malam, dengan fasilitas pertunjukan di bawah standar. Warga dan Pemerintah Daerah Aceh belum menghargai seni teater, yang paling menyedihkan malah masyarakat seniman ikut pula merendahkan dirinya. Apalagi ketika penulis menyaksikan pertunjukan demi pertunjukan, secara keseluruhan pekerja teater Indonesia di Aceh kurang mengerti konsepsi pemeranan, penyutradaraan dan artistik sehingga menggarap pertunjukan teater hanya mengandalkan pengalaman empirik semata. Teater dewasa ini, bukan lagi sekedar hobi, teater telah jadi bagian dari ilmu pengetahuan. Jadi berteater itu harus berguru bukan meniru. Tataran dunia perteateran di Aceh masih dalam taraf menirukan rutinitas kehobian dalam menggeluti teater. Festival teater Se-NAD itu, muncul dalam rutinitas ketimbang tak ada pertunjukan, makanya dilaksanakanlah kegiatan yang menghabiskan banyak uang dengan kualitas kegiatan rendah. Festival teater seharusnya dilaksanakan di gedung pertunjukan yang siap dengan fasilitas pendukung seperti lighting (cahaya), gedung pertunjukan yang memiliki akuistik bagus yang akhirnya berimbas pada kualitas pertunjukan.

Aceh Butuh Lembaga Pendidikan Tinggi Seni
Masyarakat teater Aceh memiliki budaya lokal berteater seperti; dalupa, guel, P.M.T.O.H, didong, dangderia, hikayat dan sebuku serta Gelanggang Labu. Teater-teater tradisi ini, mampu menjadi pemicu teaterawan Aceh dalam proses kreatifnya. Dewasa ini, generasi Aceh banyak yang tidak kenal lagi mengenai seni tradisi yang bernilai tinggi ini. Atas dasar inilah, tak ada salahnya penulis menggantungkan harapan kepada Pemerintah Daerah, Praktisi Keilmuan, Seniman, dan Seniman Akademis baik yang berada di Aceh maupun di luar Aceh untuk duduk bersama memikirkan dan merumuskan pendirian Lembaga Pendidikan Seni di Aceh. Andai Lembaga Pendidikan Seni ini berdiri, tidak hanya mampu mendokumentasikan seni teater tradisional Aceh, namun akan berada dalam cakupan seni yang universal menjadi laboratorium seni Islam Nusantara. Hal ini dapat terealisir karena Aceh kini memiliki hukum Islam sebagai landasan ideal dalam bermasyarakat melalui Qanun Nanggroe Aceh Darussalam. Jika hal ini dikaji serius oleh masyarakat seniman dan PEMDA NAD, maka Seniman Aceh juga harus melahirkan Qanun (Hukum) tentang kesenian. Seni Aceh adalah seni yang berlandaskan Islam. Jadi lembaga pendidikan seni di NAD berbeda dengan kajian seni yang ada di IKJ Jakarta, ISI Yogyakarta, ISI Surakarta, ISI Bali, STSI Bandung, STSI Padangpanjang, STKW Surabaya, AKMR Pekanbaru, Akademi Seni Papua. Lembaga Pendidikan Seni ini, selain mampu mengangkat martabat kesenian Aceh, juga mampu mendokumentasikan seluruh seni tradisi Aceh sekaligus mengkaji seni secara keilmuan tidak hanya sebagai hobi. Andaikan Lembaga Pendidikan Seni berdiri di Aceh, ia akan mampu menjawab tantangan jaman terhadap kualitas intelektual seniman Aceh, bukan kuantitasnya. Sekaligus menjadikan Aceh tempat kajian seni yang Islami di dunia selain Turki. Bagaimana (?) Semoga!



*) Penulis adalah Penyair, Sutradara dan pimpinan Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang, juga dosen jurusan teater STSI Padangpanjang asal Aceh.

Rabu, 11 Maret 2009

Kolom "Refleksi da Detak Jam Gadang"Sulaiman Juned

Kolom Refleksi:
CALEG DAN SELEBERITIS
Oleh: Sulaiman Juned

Proklamator Republik Indonesia, Bung Hatta pernah berpesan pada tahun 1955, ”Memilih itu bukan kewajiban yang ditimpakan kepada saudara, melainkan hak saudara. Hak ikut serta menentukan nasib sendiri sebagai warga bangsa yang ikut berdaulat. Akan tetapi dengan hak itu saudara ikut memikul tanggung jawab tentang buruk atau baik nasib kita sebagai bangsa” (Kompas, 22 Februari 2009).
Pemilu legislatif sudah di ambang pintu, siap tak siap haruslah siap pada 9 April 2009 nanti, dan kita pun harus memerdekakan diri untuk memilih, tanpa tekanan, tanpa paksaan dari dan oleh siapapun. Penulis sangat setuju ungkapan Bung Hatta mengenai Pemilu. Memang sebagai anak bangsa selayaknya begitu.
Namun sayang, semakin dekatnya pelaksanaan Pemilu untuk capres, atau legislatif yang duduk di DPR/DPRD tingkat provinsi, kabupaten/kota para kandidat mulai ’turun gunung’ dan ’menebar pesona’. Mereka mulai melakukan politik pendekatan kepada rakyat. Hal ini sama persis yang dilakukan oleh para selebritis di negeri ini, ketika mereka kehilangan pamor lalu menciptakan ramor di ruang-ruang publik agar mereka dibicarakan kembali. Mulailah diciptakan gosip baik di program Gospot, Silet maupun Sergap (milik RCTI) untuk menaikkan pamornya kembali. Jika mereka bermandikan kemewahan, tak pernah ingat kepada penggemarnya. Sering penggemarnya dilupakan begitu saja. Luar biasa!
Tebar pesona melalui poster, spanduk, dan baliho di jalan raya seperti bintang bertebaran di langit biru. Memasang iklan di media massa dengan bahasa yang membumbung tinggi sampai ke langit ke tujuh. Bahkan ada juga yang melakukan ’turun gunung’ untuk mendatangi rumah-rumah rakyat, memperkenalkan diri memperkuat ”brand” pribadi dan partai. Ada yang lebih tragis mereka berani menjatuhkan lawan dengan cara tidak ’fair’. Di setiap desah nafas mereka lakukan kampanye walau lewat metode saling memperolokkan, mengejek-menghina. Inilah mentalitas calon wakil kita.
Rakyat memerlukan wakil yang jujur-amanah dan mampu memperjuangkan nasibnya. Para caleg selayaknya melakukan sosialisasi dan konsolidasi terhadap cara mencoblos atau mencontreng. Ini lebih penting dilakukan caleg, sebab ada empat lembar kertas pemilihan yang lebar-lebar yang membuat bingung pemilih di ruang sempit nanti. Caleg lebih tepat menjelaskan fungsi, tugas dan kedudukan wakil rakyat di DPR-DPD-DPRD itu apa saja, lalu untuk siapa keberadaan mereka itu dianggap penting di bumi pertiwi ini. Jika perlu melakukan pidato di televisi dan radio, tentang pendidikan, budaya dan ekonomi atau perkembangan politik di negeri ini.
Para caleg tak perlu ’turun gunung’ dan ’tebar pesona’ dengan pamflet, spanduk, baliho yang tersebar seluruh kota. Berapa dana yang harus dikeluarkan, wah ini luar biasa. Apakah nanti ketika jadi anggota DPR/DPRD tidak berpikir untuk mengembalikan uang yang telah banyak terkuras? Tak perlu pula para caleg saling menjatuhkan lawan politik dengan jalan tidak sehat. Andai terpilih nanti, apakah ingat dengan orang-orang yang ber-’keringat-keringat’ di bilik sempit untuk memberikan suara kepadanya. Apakah para caleg tidak berperilaku sama dengan selebritis kita yang melupakan penggemarnya. Semoga tidak! Mari bercermin pada wajah kita yang ’bopeng’ dan ’bertopeng’. ***
(dimuat di Harian Umum Haluan, Senin 2 Maret 20009).
Kolom Refleksi:
GURU, DIGUGU, DITIRU ATAU DIBURU
Oleh: Sulaiman Juned

Guru selayaknya siap menjadi manusia yang mampu mengisi ruang afektif, kognitif dan psikomotorik. Guru seharusnya menjadi manusia yang paling disegani, dijadikan suri tauladan di tengah realitas sosial masyarakat. Dahulu kala, di negeri ini penghormatan kepada seorang guru sama menghormati ulama. Itu cerita dulu.
Dewasa ini, banyak oknum guru yang sikap dan tingkah lakunya tidak mencerminkan seseorang yang memiliki intelektualitas. Penulis sangat terenyuh ketika suatu wakru menyaksikan sang ’cekgu’ memaki-maki muridnya atau mahasiswanya dengan bahasa yang seronok, karena sang murid mungkin memprotes tentang bahan ajar yang sudah kadaluarsa, atau buku pegangannya dianggap kitab kuning padahal terbitan tahun 1995, misalnya. Sementara muridnya membaca buku terbaru, lalu terjadi perdebatan, sang guru tak mau kalah-memakai kekuasaan sebagai guru. Wah, ini bukan mentalitas guru/dosen yang memberikan pencerdasan kepada muridnya. Guru seperti ini akhirnya dimusuhi dan diburu, betapa tidak! Sungguh banyak guru yang dipukuli dan bahkan dibunuh oleh muridnya.
Lebih terenyuh lagi, ketika menyaksikan seorang guru tidak memberikan ajaran moral-ilmu dan kemampuan. Ada sekolah dan bahkan pendidikan tinggi yang masih memberlakukan sistem hukuman dan hadiah. Ketika muridnya terlambat sampai ke sekolah sang murid dihadiahi cercaan dan makian bahkan membersihkan WC, atau karena terlalu sering terlambat lalau mereka dapat poin kesalahan terlalu banyak, hukuman selanjutnya adalah skorsing tidak boleh masuk sekolah selama satu minggu. Hukam ini membuat murid tetap berangkat ke sekolah dari rumah. Orangtua tidak diberi tahu, mereka hanya menghabiskan waktu di tempata-tempat PS (Play Station) atau warung kopi lalu terlibat narkoba. Ia semakin benci dengan dunia pendidikan. Secara i Sistem ini tidak berpihak kepada dunia pendidikan.
Sementara jika diberikan hadiah, para murid senang belajar. Rajin menuntut ilmu dengan harapan dapat nilai tinggi. Bagi siapapun yang mendapat nilai tinggi otomatis pula rangkingnya menjadi bagus, minimal rangking 1, 2 dan 3 pasti mendapat hadiah. Terlepas besar dan kecilnya hadiah, namun yang jelas pemberian hadiah secara tidak langsung menciptakan anak didik dari usia dini menjadi manusia yang mengharapkan pamrih. Hal ini sangat berbahaya, kita mendidik anak bangsa berjiwa koruptor.
Jadi, kapan bangsa ini dapat berubah jika dunia pendidikan tidak melakukan perubahan dalam sistem guru memberikan pembelajaran dilapangan. Jika murid dibesarkan dengan sistem hukuman, maka ia akan menjadi generasi pendendam yang berujung jadi penjahat. Apabila murid dibesarkan melalui sistem hadiah, maka melahirkan generasi-generasi suka suap-menyuap, nepotisme dan koruptor. Janganlah menjadi penerus yang meneruskan kesalahan-kesalahan. Selayaknya jadilah generasi pelurus yang meluruskan kesalahan-kesalahan. Guru harus melahirkan kebenaran dan meluruskan kesalahan. Betapa banyak oknum pejabat yang jadi penjahat, didalamnya tentu sistem pendidikan di sekolah membekam di jiwa anak didik, sehingga terbawa dalam kehidupan. Hati-hatilah duhai guru, mau digugu-ditiru atau diburu. Semoga!
(Dimuat Harian Umum haluan, Kamis 26 Februari 2009).

Kolom Detak Jam Gadang:
BACA DAN TULISLAH
Oleh: Sulaiman Juned

Bacalah! Bacalah dan bacalah, begitu Allah memerintah kepada Rasulullah SAW melalui sang Malaikat, sejak 610 masehi untuk menyampaikan kepada makhluk yang bernama manusia agar membaca. Baca bertujuan menajamkan pikir, rasa, dan perenungan serta pencerahan diri.
Membaca tidak hanya buku, tapi juga membaca alam, pikiran manusia lainnya. Dewasa ini, manusia sebagai khalifah di atas bum, enggan untuk mengisi ruang pikir dengan membaca. Malas membaca secara pasti pula menghilangkan tradisi berpikir kritis. Manusia menjadi cerdas-kritis karena bacaannya.
Hal ini dapat penulis buktikan, generasi muda sekarang malas membaca. Penulis mengajar di beberapa perguruan tinggi di Sumatera Barat. Setiap matakuliah yang saya ajarkan mahasiswa wajib buku referensi minimal sepuluh buah. Setiap pertemuan saya menanyakan isi dari satu per satu buku tersebut, dengan maksud akan terjadi tradisi diskusi di ruang kelas. Namun sayang, mereka menjawab belum baca, padahal ke sepuliuh buku sudah saya mintakan untuk di fotocopy kalau tidak mampu beli yang aslinya. Ketika penulis tanyakan berapa buah buku satu hari anda baca! Tanpa merasa bersalah dengan ringan mereka menjawab, satu lembar (maksudnya satu halaman) buku paling kuat. Inilah fenomenan generasi penerus yang lima atau sepuluh tahun nanti akan menjadi pemimpin bangsa. Mau jadi apa negeri yang menurut kelompok musik Koesplus; tongkat, kayu dan batu jadi tanaman. Marilah kita berkaca dengan membaca kita telah menggelar isi dunia dan langit di ruang kepala kita.
Selanjutnya menulis, tradisi menulis pun telah mulai hilang di tengah masyarakat kita, padahal Allah berfirman; ’...demi pena yang mereka tulis...’. Menulis merupakan pekerjaan mulia apalagi mampu memaknai setiap yang kita tulis sama dengan ibadah. Sesuatu yang tertulis, baik berupa buku-koran-majalah dibaca oleh banyak orang, tulisan tersebut menambah pengetahuan, ilmu dan pencerahan secara otomatis pula bernilai ibadah. Sesungguhnya profesi wartawan merupakan makhluk yang paling banyak menerima pahala. Betapa tidak, para jurnalis selalu saja menyampaikan informasi, ilmu dan pengetahuan kepada masyarakat tanpa mengharap pamrih.
Menulis bagi banyak orang barangkali pekerjaan yang sulit dan sukar. Sesungguhnya menulis itu gampang asal rajin membaca apa saja, berani mengeluarkan pendapat, berani kreatif dan tidak menyontek, serta tekun untuk menulis apa saja-kapan saja dan dimana saja. Jadi, untuk menjadi penulis haruslah rajin membaca, bagi seorang penulis hindari untuk memilih-milih buku yang dibaca, penulis harus siap dan senang untuk membaca buku apa saja.
Penulis yang baik terlebih dahulu harus menjadi pembaca yang sangat..sangat..sabgat baik. Mustahil seorang penulis mampu melahirkan karya terbaiknya, andai ruang pikir tidak diisi dengan membaca. Baca lalu tulislah, jangan berhenti membaca jangan pula berhenti menulis. Semoga kita mejadi pembaca dan penulis terbaik.

(Dimuat di Harian Umum Haluan, Kamis 5 Maret 2009)

Kolom Refleksi:
KRITIKUS MASIHKAH DIBUTUHKAN?
Oleh: Sulaiman Juned

Kritik merupakan upaya melakukan penafsiran, penghakiman secara adil sebuah karya atau memberikan penilaian baik-buruknya sebuah karya. Kritik juga berfungsi sebagai jembatan antara karya dan pembaca. Pelaku kritik disebut kritikus.
Di dunia seni, baik itu bernama seni sastra maupun seni pertunjukan sangatlah dibutuhkan seorang kritikus. Tanpa kritikus sebuah karya seni akan terkesan tertutup apalagi karya seni yang bergaya absurditas, tentu susah dipahami oleh kalangan pembaca atau penonton yang awam. Karya yang demikian dibutuhkan seorang kritikus untuk menjawab teka-teki yang ada dalam karya seni tersebut.
Kritikus berusaha mencari-menunjukkan-menentukan nilai dengan menganalisa ataupun melakukan perbandingan secara teoritis asal saja tidak bergeser dari poetika pengarang, nilai artistik sutradara dan koreografer serta komposer. Bagi pelaku-pelaku seni, tentu sangat membutuhkan kehadiran kritikus, sebab seorang kritikus mampu menghayati nilai-nilai yang tercipta dalam sebuah karya melalui pendekatan yang benar-benar telah dikuasainya. Kritikus sudah melewati proses kreatif berkarya yang akhirnya mampi menguasi konsepsi atau teori sebuah karya seni.
Kritikus tentu pula dituntut memiliki ketekunan dalam membaca, setiap saat perlu mengasah ketajaman berpikir agar tidak hanya ’memaki-maki’ atau ’menyalahkan’ saja karya orang lain yang berujung menjerumuskan pembaca dan pencipta karya.
Sesungguhnya kritikus membantu para pencipta karya agar dapat mengetahui sejauhmana kualitas diri dan karyanya bermanfaat bagi kehidupan sosial masyarakatnya. Kritikus haruslah memiliki semboyan membina dan membimbing penulis, sutradara, koreografer, komposer, pelukis melalui kritik yang edukatif.
Kritikus, hendaknya berfungsi sebagai kurasi dan mediasi dalam sebuah karya sang kreator. Artinya harus berani menyatakan kejujuran terhadap kualitas karya atau mengungkapkan asli tidaknya sebuah karya tersebut. Memang di daerah kita ini sangat minim kritikus, dan kita harus belajar banyak kepada pengalaman empirik HB. Jassin, Sapardi Joko Damono dan sejumlah nama lainnya.
Kreator hanyalah sebagai pelaku dari karya seni itu, dan tanpa berpikir lebih jauh tentang karya itu akan menjadi ’apa’ di tengah masyarakatnya nanti. Kreator hanya mengangkat realita sosial menjadi realitas sastra, realitas teater, realitas tari dan realitas musik. Sedangkan kritikus yang membahasakan konsepsi karya tersebut kepada pembaca dan penonton. Sungguh ironis memang, Sumatera Barat yang sangat terkenal dengan gudangnya seniman, kini hanya memiliki satu-dua kritikus (kalau tak berani dikatakan tak ada). Kritikus masih sangat dibutuhkan dalam era kini, siapa yang akan mensosialisasikan karya sastra penyair, cerpenis, novelis dan dramawan kepada khalayak pembaca kalau tak ada kritikus. Siapa yang menjadi jembatan terhadap pemaknaan sebuah pertunjukan tari kontemporer-teater kontemporer kepada khalayak penonton, jika tak ada kritikus. Selebihnya sang kreatorpun membutuhkan masukan dari kritikus untuk mampu melahirkan karya-karyanya yang monumental.
Mari kita tunggu kelahiran kritikus-kritikus seni Sumatera Barat yang berkualitas yang mampu membaca karya para kreatornya. Semoga!

Refleksi:
SASTRA DAN TRANSFORMASI MORAL
Oleh: Sulaiman Juned

Moralitas suatu anak bangsa tidak cukup dengan pembelajaran afektif di sekolah-sekolah, hal ini tidaklah menjamin seorang anak didik akan berprilaku baik di tengah masyarakat. Mari kita berkaca pada wajah semesta, beberapa waktu yang lalu ada berita di media elektronik seorang anak yang mengalami keterbelakangan mental dibuang oleh keluarganya. Betapa tak bermoralnya anak bangsa kini, buah hati-darah dagingnya sendiri tega diperlakukan begitu, belum lagi berhubungan dengan masalah dosa. Luar biasa laku manusia di abad ini.
Ada juga seorang remaja mencekik pacarnya karena tak terima atas keputusan sang pacar yang memutus jalinan kasihnya. Akhirnya berurusan dengan pihak berwajib. Kini banyak kita temui seorang suami atau istri yang ringan tangan, memukul dan bahkan membunuh pasangan hidupnya. Masyarakat sangat mudah tersulut dengan rumor-rumor yang sengaja diciptakan, sehingga melakukan demonstrasi tanpa membawa isi kepalanya. Kekerasan demi kekerasan menjadi tontonan gratis di media elektronik, dan bacaan yang menarik di surat kabar. Muncul sekian pertanyaan di benak kita, sudah begitu merosotkah moralitas bangsa? apa penyebabnya?
Sederhana memang, ada ruang kognitif dan psikomotorik yang harus diisi dalam ruang kepala anak bangsa. Hal ini dapat dilakukan melalui jalur pendidikan formal, namun kita sering lupa secara afektif tidak cukup melalui pendidikan agama dan budaya di sekolah. Mengisi ruang-ruang afektif haruslah dilakukan melalui kualitas bacaan dari si anak didik. Bacaan sastra mampu menyemai nilai-nilai luhur bagi si anak seperti; keimanan-kejujuran-ketertiban-pengendalian diri-tanggungjawan dan kerja keras.
Karya-karya sastra secara tidak langsung dapat menjadi transformasi moral bagi anak manusia, betapa tidak jika kita membaca novel yang berjudul Tenggelamnya Kapal Vanderwijk Karya Hamka, otamatis pembaca disuguhkan pembelajaran terhadap adat istiadat, moralitas, kasih sayang. Bagaimana tokoh Zainuddin harus rela meninggalkan Hayati karena orang tua Hayati tidak mau menerima Zainuddin. Cinta tidak harus bersatu. Dewasa ini, generasi muda malas membaca karya-karya sastra sehingga prilakunya menjadi kasar, sebab di dunia pendidikan hanya mengisi otak sebelah kanan yang berfungsi untuk keilmuan semata. Sementara otak sebelah kirinya jarang dimamfaatkan, kemampuan membaca karya sastra dan latihan berpikir otak kiri mampu menciptakan kehalusan budi. Sebab otak kiri bermamfaat untuk mengolah seni, dan seni mampu memanusiakan manusia.
Jika pada masa dahulu kala, ibu atau nenek masih berkenan mengantar tidur anak atau cucunya dengan cerita dongeng yang didalamnya diselipkan pembelajaran moral. Ketika si anak tumbuh dewasa cerita sang ibu masih melekat di jiwanya yang bermuara pada keengganannya melakukan kesalahan-kesalahan. Hari ini kita tidak pernah lagi menyaksikan sang ibu yang meninabobokkan anaknya dengan cerita dongeng atau petatah-petitih yang berisi ajaran kebaikan. Anak-anak sekarang dininabobokan dengan lagu-lagu dangdut yang cengeng atau metalika yang keras yang menciptakan psikologis anak menjadi keras dan cengeng. Maka jangan heran apabila dewasa ini muncul generasi yang tidak bermoral atau generasi cengeng yang tidak siap untuk hisup mandiri. Mari kita ciptakan generasi yang bermoralitas dengan membaca sastra. Semoga!
Kolom Refleksi:
TELEVISI KOMUNITAS SEBUAH TANTANGAN
Oleh: Sulaiman Juned
Tergelitik juga tantangan yang ditulis Muhammad Subhan diruang Refleksi berjudul ’Padangpanjang Televisi’ (Haluan, 7/3) lalu. Benar, televisi lokal atau komunitas memang sangat penting di era ini untuk memberikan pencerdasan kepada masyarakat. Ada acara-acara khusus untuk mendulang kemajuan berpikir masyarakat yang tidak dimiliki oleh televisi lain. Barangkali di televisi lokal itu pulalah memprogramkan acara berbahasa minang, pengetahuan adat dan budaya Minangkabau serta pertunjukan-pertunjukan kesenian tradisi yang mulai terlupakan oleh serbuan sinetron di televisi nasional.
Penulis sempat dua tahun bermukim di Surakarta-Jawa Tengah. Sempat pula menikmati beberapa televisi lokal yang isiannya melakukan pencerdasan melalui budaya lokal. Ini suatu bukti, seperti; Solo TV, Semarang TV, Klaten TV menyiarkan berita berbahasa Jawa, dan mengingatkan kembali kepada pemirsa tentang adat istiadat Jawa serta menayangkan kesenian-kesenian tradisional. Hal ini tentu membuat seluruh pemirsa dapat mengakses kembali sesuatu yang telah lama hilang di tengah masyarakatnya. Sesuatu yang paling berharga dan berarti buat generasi muda-akhirnya mereka mengetahui dan memahami sosial budaya masyarakatnya. Selain menjadi mediator bagi masyarakat mengenai aturan Pemerintah Daerah barangkali.
Apabila di Padangpanjang didirikan stasiun televisi pastilah sangat mungkin. Betapa tidak, coba kita berkaca ke Surakarta, di Kotamadya itu memiliki sebuah perguruan tinggi seni bernama Institut Seni Indonesia. Di sana ada pula Fakultas Media Rekam yang salah satu jurusannya adalah Televisi. Pemerintah Daerah mendirikan televisi lokal bernama Solo TV, lalu dilaksanakanlah kerjasama antara PEMDA dengan ISI yang hasil akhirnya melahirkan beberapa stasiun televisi lokal di beberapa kota Jawa Tengah.
Berangkat dari pengalaman itu, kenapa tidak di Padangpanjang yang nota bene memiliki Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Padangpanjang, didalamnya memiliki jurusan Televisi dan Film. Tentu dibutuhkan kerajasama yang harmonis memang antara PEMDA dan STSI. Di STSI Padangpanjang sudah ada fasilitas untuk pendirian Televisi Komunitas. Sudah ada tower dan peralatan lainnya, juga pekerjanya secara pasti mahasiswa jurusan televisi yang telah menimba ilmu tentang pertelevisian. Tinggal bagaimana membentuk kerjasama antara kampus seni itu dengan pihak PEMDA.
Barangkali ada masalah egosentris yang membumbung antara dua institusi ini, namun mari kita bercermin pada cermin yang datar, sehingga dapat melihat dengan jernih kebutuhan sosial masyarakat kita. Mari kita jalin keharmonisan yang selama ini mungkin ada ketidakcocokan. Bersama kita bangun kekuatan televisi Padangpanjang, saling memberi dan menerima-saling memunculkan kelebihan dan menutupi kelemahan. Masyarakat Padangpanjang pasti merindukan hadirnya televisi lokal (komunitas). Melalui televisi lokal banyak hal yang dapat kita perbuat, mensosialisasikan kota ini sebagai satu-satunya kota Serambi Mekkah-kembali ke surau dan kembali ke nagari yang masih kurang dipahami dan dimengerti oleh sejumlah anak kemanakan kita. Tentu bisa dan mungkin Subhan, sebab alat pendukungnya sudah sangat...sangat..sangat mungkin. Kita tunggu kehadirannya. Semoga!

Kolom Refleksi:
TAUFIK ISMAIL DAN RUMAH PUISI
Oleh: Sulaiman Juned
Sastrawan nasional Taufik Ismail mendirikan Rumah Puisi di Nagari Aie Angek, Kabupaten Tanah datar, Sumatera Barat. Tepatnya di bawah kios sayur segar menuju Koto Baru. Ini suatu yang menggembirakan, di rumah puisi tersebut kita dapat membaca buku sejumlah tujuh ratus ribu judul buku; buku-buku tersebut terdiri dari dari buku sastra, filsafat, ekonomi, agama, dan politik serta hukum.
Rumah Puisi ini bertujuan untuk menggalang kecintaan terhadap gerakan membaca dan menulis sastra. Melakukan pelatihan-pelatihan pengajaran sastra untuk guru bahasa dan sastra Indonesia se-Sumatera Barat. Niat suci yang dibangun Taufik Ismail, pembelajaran kepada para guru dan siswa tanpa memungut biaya, malahan beliau memberikan transfortasi.
Jika kita ingin tahu bagaimana kecintaan Taufik terhadap puisi, mari kita simak puisinya yang berjudul: ”Dengan Puisi, Aku” //dengan puisi aku bernyanyi/sampai senja umurku nanti/dengan puisi aku bercinta/berbatas cakrawala/ dengan puisi aku mengenang/ keabadian yang akan datang/dengan puisi aku menangis/ jarum waktu bila kejam mengiris/dengan puisi aku mengutuk/nafas zaman yang busuk/ dengan puisi aku berdoa/ perkenankanlah kiranya//. Puisi yang ditulisnya pada tahun 1965 ini, menjadi modal dan semangat hidup dalam menjalani dunia kesusastraan Indonesia Modern. Memang telah ia buktikan kesetiaannya dalam berkarya. Puisinya membahasakan protes sosial-sejarah-religiusitas-nasionalisme, ia terlibat langsung dengan masalah yang hidup dalam realitas sosial lalu dijadikan realitas sastra. Puisinya membahasakan semua gelajala, dan dari puisi kita dapat membaca tanda-tanda zaman.
Puisi yang paling berharga-tak ternilai harganya adalah pendirian ’rumah puisi’. Ini luar biasa, seorang sastrawan nasioanal yang berasal dari Bukittinggi-Sumatera Barat. Besar dan dikenal luas tidak hanya di Indonesia tapi dunia, berkenan dengan kerendahan hati pulang ke kampung halaman, mendirikan ’rumah puisi’ untuk dibaca dan dicintai oleh setiap generasi. Penulis membaca keinginan Taufik Ismail dengan pendirian rumah puisi ini sesungguhnya Taufik menciptakan puisi yang sangat monumental buat bangsa dan negara Indonesia.
Kemudian, siapa yang mampu menghargai niat luhur Taufik Ismail, setiap bulan dalam usianya yang tidak muda lagi, mondar-mandir Jakarta-Nagari Aie Angek dua minggu di Jakarta-dua minggu di ’rumah puisi’ untuk memberikan pembelajaran baik kepada guru bahasa dan sastra Indonesia maupun kepada siswa-siswa SLTA. Beliau benar-benar telah bernyanyi dengan puisi buat pencerahan masyarakatnya sampai senja umurnya kini.
Ketika penulis berkunjung ke rumah puisi. Disana Taufik Ismail beserta sastrawan tamu Acep Zamzam Noer, Joni Ariadinata, dan Gus Tf sakai sedang menerima tamu guru-guru bahasa dan sastra Indonesia Se-Kota Payakumbuh. Taufik memaparkan paradigma pengajaran sastra; asyik, nikmat dan gembira. Membaca langsung karya sastra. Kelas mengarang harus menyenangkan. Menafsir karya sastra harus beragam tidak tunggal. Teori,definisi, sejarah sastra merupakan informasi skunder. Sastra menyemaikan nilai-nilai luhur bagi pembacanya seperti; keimanan, kejujuran, ketertiban, pengendalian diri, tanggungjawab, kebersamaan, kerja keras dan optimisme. Luar biasa! Bravo Taufik Ismail, kami bangga!