Senin, 23 Maret 2009

PENYAIR IYUT FITRA: Pembicara Atawa Pencerita

PENYAIR IYUT FITRA PEMBICARA ATAWA PENCERITA
Oleh: Sulaiman Juned *)

Beberapa waktu yang lalu (14/3) Penyair nasional asal Payakumbuh Iyut Fitra melakukan Lounching antologi puisi Dongeng-Dongeng Tua setelah pada tahun 2005 meluncurkan buku puisinya yang pertama Musim Retak. Kegiatan ini terlaksana atas kerjasama dengan Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Teater Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Padangpanjang, bertempat di Gedung Teater Mursal Esten. Lounching ini dibuka dengan pertunjukan teaterikal puisi berjudul “Tangga” Karya Iyut Fitra yang digarap mahasiswa HMJ Teater STSI Padangpanjang lewat eksplorasi tubuh.
Yusril, S.S., M.Sn Ketua Jurusan Teater mengatakan, ini kali kedua penyair Iyut Fitra hadir di sini. Di awal pendirian jurusan teater pada tahun 1997, Iyut pernah baca puisi yang diiringi dengan musik orkestra. Lounching buku sastra seperti ini penting dilakukan oleh HMJ, sebab sastra sangat berhubungan dengan proses kreatif seorang pekerja teater. Jadi jurusan teater sangat terbuka dan dapat menjadi ‘rumah’ bagi seniman-seniman Indonesia, minimal seniman yang bermukim di Sumatera Barat. Para penyair, teaterawan, kreografer, komposer dan pelukis serta sinematografi silakan datang ke jurusan teater STSI Padangpanjang, kami akan sambut denga senang hati. Fasilitas ini milik kita untuk memajukan dunia kesenian.
Iyut Fitra mengatakan, saya sangat senang dan bangga serta tersanjung dijamu oleh adik-adik jurusan teater. Sedangkan mengenai puisi-puisinya, Iyut tidak mau menjelaskan makna hasil karyanya kepada pembaca, sebab puisi ketika sampai di tangan pembaca telah menjadi milik si pembaca. Puisi yang telah lahir, ia harus berjuang sendiri untuk menentukan jalan hidupnya. Puisi diumpamakan seorang anak, ibu telah berjuang melahirkannya tentu selanjutnya perjuangan sang anak pula agar mampu mempertahankan hidupnya. Begitulah, tugas penyair hanya menulis.
Penyair Iyut Fitra dalam puisinya menciptakan lawan bicara berupa manusia yang secara eksplisit disebutkan, atau manusia tertentu tetapi implisit. Kehadiran (identitasnya) dapat ditemui dalam teks, seperti dalam puisinya berjudul “Jamila” atau manusia umumnya dalam puisi “tangga” . Situasi bahasa yang ditawarkan penyair Iyut Fitra lewat engel naratifnya, merujuk pada persoalan pihak mana saja yang terlibat dalam komunikasi teks sastra? Siapa pembicara atau pencerita? Kepada siapa pembicaraan itu ditujukan? Siapa yang menjadi lawan bicara? Situasi bahasa merupakan sistem komunikasi dalam karya sastra berbentuk puisi.
Penyair adalah Writer: (penulis/ penyair/ pengarang). Identitas aku, kau, kita dalam teks puisi adalah narator. tuhan, mu, saya dan sebagainya dalam teks puisi adalah narratef. “Lawan bicara/ yang di ajak bicara/ pihak yang dituju”. Kita semua yang membaca teks dalam hal ini karya Iyut Fitra adalah real reader atau audience (pembaca/khalayak). Setiap pembicaraan di dalam puisi ditujukan kepada seseorang (lawan bicara). Semua genre puisi baik dialog, monolog maupun naratif selalu ada lawan bicara. Hanya saja penyair terkadang menghadirkan lawan bicara dalam puisinya secara eksplisit. Sesungguhnya secara implisit sosok si penyair itu hadir di dalam teks puisinya.
Pembicaraan tentang tife penyair dapat membantu pembaca puisi untuk mengenali identitas teks. Setiap teks puisi Iyut Fitra selalu hadir sebagai pencerita atau pembicara kepada lawan bicara (pembaca atau khalayak). Iyut, dalam teks puisinya kehadiran lawan bicaranya nyata. Disamping itu, yang diajak bicara tidak hanya terbatas pada manusia melainkan juga alam dan Tuhan.
Sahrul N. Dosen STSI Padangpanjang yang kritikus Seni itu, melakukan telaah puisi penyair Iyut Fitra lewat Romantisme Naratif dalam Puisi Iyut Fitra. memaparkan “Membaca puisi cinta adalah membaca kehidupan itu sendiri. Puisi yang baik akan selalu punya sihir kata yang mampu melibatkan perasaan pembaca. Ia membawa kita pada kembara tanpa batas. Iyut Fitra mengurai romantisme itu dalam narasi yang terukur dan tertata rapi. Narasi puisi Iyut terlihat ketika ia bercerita tentang cinta (cinta pada ibu, perempuan, negeri dan segala persoalan yang menyentuh rasa dan pikirannya). Ia menyampaikan sebuah cerita”.
Sahrul N membaca Dongeng-Dongeng Tua, yang berisi tujuh puluh puisi Iyut Fitra, lalu membagi tiga periode pemakaian diksi sang penyair. Tahun 2004; penyair berangkat dari semangat kehidupan yang liar dan kelam. Diksi yang dipakai lugas dan berani. Sang penyair masih berpacu dalam dinamika kehidupan tanpa kemapanan. Aspek puisinya yang berjudul Mabuk Luka: //......bukan penyair bika tak mabuk/ pada luka-luka dunia. kesintalan perempuan malam yang bergoyang//.
Tahun 2005; Romantisme pada tahun ini memperlihatkan tingkat kemapanan dalam memandang kondisi sosial. Kematangan jiwa seorang penyair dalam memandang kehidupan. Hidup tidak lagi menjadi beban. Diksi yang filosofis mulai menghiasi karya-karya Iyut Fitra. Bahasa pada periode tahun 2005, terasa ada ragam bahasa puitik dengan bahasa praktis. Puisi-puisinya sangat puitik dengan bahasa emotif yang terjaga. Mari kita petik salah satu puisinya yang berjudul Sembilu: //hanya serasa awan terjahit untuk selimut// dalam gigil kesah betapa aku langit ingin menjemput/ waktu menjalar berubah bilang/ kau yang datang sebagai kupu-kupu/ jangan pernah menjelma sembilu//.
Tahun 2008; Romantisme dalam periode ini, merupakan periode kematangan bagi pencarian gaya kepenulisan dan pemilihan diksi. Persoalan budaya, moral, politik, adat dan sebagainya menjadi inspirasi dalam pertarungan imajinasinya. Romantisme tidak lagi sekedar cinta perempuan, tetapi menjadi romantisme adat, budaya, seni, agama, politik dan sebagainya. Mari kita simak petikan puisinya Hujan Telah Reda: ....//payakumbuh 15 maret. hujan telah reda, kotaku masih pucat/ tadi pagi telah kuterima sebuah lukisan/ bergambar batu nisan//.
Demikianlah ungkapan Sahrul N, ketika membahas dunia kepenyairan sekaligus karya-karyanya. Iyut Fitra tak ada keraguan, kesendatan dalam menuangkan diksi berbentuk puisi naratif. Termasuk komponen linguistik dan bahan kesasteraan terukir dalam bahasa puisi. Begitulah perkembangan kepenyairan seorang Iyut Fitra.
Acara sehari penuh itu, dihadiri oleh mahasiswa FKIP/ Bahasa dan sastra Indonesia Kauman Padangpanjang sebanyak 60 orang, mahasiswa STSI Padangpanjang. Juga dihadiri Tya Setiawati pentolan teater Sakata Padangpanjang, anggota Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang. Kegiatan itu ditutup dengan membacakan puisi-puisi Iyut Fitra. Turut membacakan puisi; Yusril (Ketua Jurusan teater/Pimpinan Komunitas Seni Hitam Putih), Tya Setiawati (Sutradara Teater Sakata), Dona Sangra Dewi (Sekretaris Komunitas Seni Kuflet), Immatul Jannah, Syarif Hayatullah, Erianto (Mahasiswa FKIP/Bahasa dan Sastra Indonesia), Zulkani Alfian dan Susandrro (Mahasiswa Jurusan Teater). Yang paling menarik dari acara baca puisi tersebut, ternyata penyair Iyut Fitra turut menilai para pembaca puisi, lalu diakhir acara menyerahkan bingkisan sebuah baju dan antologi puisi ’dongeng-dongeng tua’ kepada Tya Setiawati yang dianggap Iyut menjadi pembaca puisi terbaik. Luar biasa! Bravo Iyut Fitra!
*) Penulis adalah penyair, Sutradara teater, dan Pimpinan Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang, serta dosen tetap jurusan Seni Teater STSI Padangpanjang.